Senin, 11 Oktober 2010

Mengenal Tuan Guru Mahmun Syarief Marbun

Di sebuah kawasan yang bernama Siniang, yang sekarang terletak di kec. Pakkat, Humbang Hasundutan, Sumatera Utara terlahir seorang bayi pada tahun 1949 dari seorang ibunda bernama Khadijah boru Nainggolan, seorang perempuan sederhana yang sejak kecil telah menjadi yatim piatu karena ayahandanya, yang menjadi tukang masak romobongan Sisingamangaraja XII, tewas terbunuh oleh Belanda saat pengepungan dan pengejaran pasukan SM Raja, pahlawan naional RI, di pedalaman tersebut.

Karena terlahir di tahun 1949 tersebut, bayi bungsu tersebut dari delapan bersaudara dinamakan Jure Aman, yang berarti secara de jure, Indonesia telah aman dari penjajahan Belanda karena di tahun 1949 lah, pihak Belanda mengakui sepenuhnya kemerdekaan RI yang diproklamasikan oleh dwitunggal Sukarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 atau tepatnya pada tanggal 8 Ramadhan 1364 H.

Ayahandanya bernama Buyung Marbun, seorang alim dan musafir ke berbagai wilayah Indonesia sampai ke Pulau Jawa, merupakan salah satu tokoh yang menjadi pendiri mesjid raya di Pakkat, yang sekarang menjadi mesjid terbesar di Pakkat yang terletak di kabupaten Humbang Hasundutan tersebut.

Kakeknya merupakan tokoh pembuka tanah (pambukka huta) di kawasan Simaninggir, sebuah desa lama yang juga menjadi tempat pertemuan kisah cinta antara Buyung dan Khadizah muda. Simaninggir ini pula merupakan salah satu desa yang menjadi tempat tinggal dalam silsilah Marbun.

Semasa kecil beliau menuntut ilmu dengan beberapa tokoh terkemuka di wilayah tersebut, pertama dengan ayahandanya sendiri, kemudian dengan Guru Jeto, seorang sufi yang berasal dari Manduaman yang semuanya dulunya bernama Barus, sebuah kota yang menjadi wilayah masuknya Islam pertama di Indonesia.

Di Kota Kuno Barus ini pula beliau meneruskan pendidikannya, karena saat itu, Barus masih dikenal denan pusak persulukannya, pusat pengembangan pendidikan, basis pertama Muhammadiyah di Sumut dan lain sebagainya.

Setelah menikmati pendidikan di Barus, beliau melanjutkan pendidikan ke Pesantren Purba Baru, atau dikenal saat itu dengan nama Musthofawiyah. Pesantren ini didirkan oleh Tuan Syeikh Musthafa Husein Nasution, seorang modernis dan tokoh penting di Sumatera Utara.

Walaupun sebuah lembaga pesantren, Musthofawiyah mendidik santri-santrinya untuk belajar mandiri, memahani dunia dengan berdikari, dakwah bil hal yang sangat teruji dan lain sebagainya. Karena itulah, ketika Jureaman Marbun yang kemudian mempunyai nama Mahmun Syarif Marbun, pulang ke kampung halaman setelah menamatkan sekolahnya, langsung membangun "losung aek" atau alat penumbukan padi yang digerakkan oleh air secara otomatis, untuk menjawab kebutuhan praktis masyarakat Siniang pada waktu itu.

Tuan Guru Mahmun Syarief Marbun, semasa pendidikan di Musthofawiyah merupakan salah satu santri paling disukai oleh pimpinan pesantren sehingga diberi kepercayaan untuk mengolah beberapa bagian kebun karet pesantren, yang memang sangat luas, di sela-sela kesibukannya mengabdi, mengajar dan menjadi "Guru Muda" di sekolah tersebut.

Berbekal pengalaman mengolah kebun karet inilah, Mahmun muda mulai mengarungi kehidupan bermasyarakat dengan menggeluti dunia usaha berniaga hasil-hasil pertanian, di sela-sela kesibukannya menjadi salah satu pengurus Mesjid Raya Pakkat setelah sebelumnya menjadi aktivis remaja mesjid itu.

Setelah itu, di Pakkat, beliau bertemu dan mempersunting Ummi Rotua Sitohang, salah satu puteri dari tokoh muslim Sijungkang, pendiri mesjid di wilayah tersebut. Ummi Rotua Sitohang merupakan alumnus Zending Islam, sebuah perguruan Islam terkemuka terletak di Jalan Sisingamangaraja, Medan, Sumut yang merupakan salah satu lembaga pendidikan dibawah organisasi Al-Washliyah, sebuah organisasi terbesar di Sumatera Utara.

Beberapa filsafat hidup dan ajaran Tuan Guru Mahmun Syarif adalah kecintaanya untuk mengikuti sunnah Rasulullah SAW dalam berniaga. Kecintannya tersebut telah membuatnya bereksperimen untuk mencoba beberapa bentuk perniagaan atau usaha, diantaranya perdagangan hasil-hasil pertanian yang dikenal dulunya bernama "hasil bumi", pertukangan emas, transportasi dan lain sebagainya.

Dari pernikahannya dengan Ummi Rotua Sitohang, Tuan Guru Mahmun Syarif mempunyai tujuh orang putera-puteri. Empat putera dan tiga puteri. Kepada semua anak-anaknya beliau selalu mengajarkan sikap kedermawanan, memberi dan bersedekah. Menurutnya, dengan bersedekah, rezeki seseorang akan kembali atau bertambah seiring dengan keberkahan yang diberikan oleh Allah SWT.

Oleh karena itulah, beliau tidak sungkan-sungkan untuk membantu operasional beberapa mesjid dan bahkan membantu secara finansial Pesantren Al Kautsar Al Akbar, Medan, yang didirikan oleh kakandanya Buya Ali Akbar Marbun, setiap saat diminta. Kegigihannya terlihat saat beliau bersama Buya Ali Akbar Marbun bahu membahu membangun dan membiayai pendirian Pesantren Al Kautsar Al Akbar, cabang Lae Toras, Tarabintang, Humbahas, Sumut, bersama donatur lainnya, serta beberapa mesjid lainnya.

Sebagai seorang putera Batak, Mahmun Syarief Marbun sangat kuat dalam aturan yang digariskan oleh adat yang bertujuan untuk mengatur kehidupan sosial di masyarakat Batak baik itu yang berada di Bonapasogit maupun di perantauan.

Penghormatannya yang kuat kepada ibundanya, Ompung Guru Hajjah Khadizah Nainggolan, merupakan bagian dari filsafat hidup orang Batak yang sangat mencintai ibunya, sebagaimana beliau menghormati ayahandanya. Untuk itulah, beliau tak segan-segan langsung mewakafkan tanah warisannya di Siniang untuk pembangunan mesjid yang menjadi ikon Siniang. Semua itu diharapkan menjadi amal jariyah kepada kedua orang tuanya di akhirat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar