Sebuah narasi lisan kuno dari Tanah Simalungun menyimpan jejak-jejak pengaruh kekuasaan dan aliansi yang menarik di masa lampau. Kisah Partingkian Bandar Hanopan (PBH) tidak hanya merangkai intrik lokal, namun juga mengisyaratkan adanya interaksi dan pengaruh dari kekuatan yang lebih besar, yaitu Aceh di bawah kepemimpinan Raja Asih, dan bahkan kemungkinan keterkaitan dengan Raja Rum, yang diasosiasikan dengan Kekaisaran Ottoman. Hubungan antara kekuatan-kekuatan ini kemudian bersinggungan dengan entitas lokal seperti Dili (kemungkinan merujuk pada Kesultanan Deli di Sumatera Utara).
Narasi dimulai dengan kisah Pangultop-ultop dan pertemuannya dengan Puang Putori Ijou, yang kemudian dibawa ke hadapan seorang pemimpin lokal bernama Puangta Hajuruan Sinombah.
Ketidakmampuan pemimpin lokal ini untuk mengatasi situasi tersebut membuka jalan bagi intervensi kekuatan luar.
Dalam alur cerita, Raja Asih dari Aceh muncul sebagai figur yang memiliki pengaruh signifikan. Ketika mendengar tentang Puang Putori Ijou di Dili Tua, ia mengirim utusan dan kemudian mengambil tindakan untuk membawanya ke wilayah kekuasaannya. Tindakan ini mengindikasikan adanya jangkauan kekuasaan atau setidaknya pengaruh politik Aceh di wilayah Sumatera Utara pada masa itu.
Lebih menarik lagi adalah munculnya figur Raja Rum. Meskipun identifikasi langsung dengan Sultan Ottoman sulit dipastikan hanya berdasarkan narasi lisan, penyebutan "Rum" dalam konteks sejarah sering kali diasosiasikan dengan Kekaisaran Ottoman, sebuah kekuatan Islam yang disegani pada masa itu.
Keterlibatan Raja Rum dalam konflik di Tanah Simalungun, melalui pengiriman panglima perang dan sumber daya, menyiratkan adanya potensi aliansi atau setidaknya hubungan diplomatik antara kekuatan lokal dengan entitas yang lebih jauh, yang mungkin melihat Aceh sebagai sekutu atau memiliki kepentingan strategis di wilayah tersebut.
Motif keterlibatan Raja Rum tidak dijelaskan secara eksplisit, namun pengiriman emas dan panglima perang untuk mengatasi kekuatan magis tanah Dili menunjukkan adanya kepentingan yang lebih besar dari sekadar konflik lokal. Bisa jadi, Raja Rum melihat potensi ancaman atau peluang di wilayah Sumatera Utara, dan aliansi dengan Raja Asih menjadi cara untuk memproyeksikan pengaruhnya.
Sementara itu, Dili Tua, yang dalam konteks geografis kemungkinan merujuk pada wilayah yang kelak menjadi Kesultanan Deli, menjadi pusat konflik. Raja Dili menikahi Puang Putori Ijou, yang kemudian menjadi alasan bagi intervensi Raja Asih. Kekalahan Raja Dili dan jatuhnya Dili Tua ke tangan aliansi Raja Asih dan Raja Rum (atau setidaknya di bawah pengaruh mereka) menandai perubahan lanskap kekuasaan di wilayah tersebut.
Penggunaan senjata seperti bedil (senapan) dalam narasi juga memberikan petunjuk mengenai periode waktu, mengarah pada era setelah masuknya teknologi persenjataan dari Eropa yang kemudian diadopsi oleh kekuatan-kekuatan seperti Aceh dan mungkin juga melalui jalur perdagangan dengan Ottoman.
Kisah tentang kekuatan magis tanah Dili yang dilawan dengan taktik dan sumber daya dari Raja Rum juga menarik untuk dianalisis. Ini bisa jadi merupakan representasi simbolis dari perbenturan antara kepercayaan lokal dengan kekuatan dan teknologi dari luar. Keberhasilan mengalahkan kekuatan magis tersebut membuka jalan bagi dominasi aliansi Raja Asih dan Raja Rum.
Lebih lanjut, narasi tentang perebutan pengaruh dan konflik antara berbagai kekuatan lokal seperti Silou Bolak, Silou Dunia, dan Pintu Banua menunjukkan lanskap politik yang kompleks di Sumatera Utara pada masa itu, di mana kekuatan-kekuatan lokal harus berhadapan dengan pengaruh dari luar.
Kisah cinta antara Raja Asih dan Puang Putori Ijou, meskipun menjadi bagian sentral narasi, juga dapat dilihat sebagai simbol dari pernikahan politik atau penguatan aliansi antara Aceh dan wilayah lokal. Permintaan Puang Putori Ijou untuk mencari saudaranya, Pangultop-ultop, dan pemberian harta kepada Pangultop-ultop setelah ia ditemukan, mengindikasikan adanya upaya untuk mengintegrasikan elemen-elemen lokal ke dalam struktur kekuasaan yang baru.
Penobatan Pangultop-ultop sebagai Raja Silou (Raja Silau) di bawah pengaruh Raja Asih semakin menegaskan dominasi Aceh di wilayah tersebut. Pemberian Ular Sinde sebagai simbol kekuasaan juga menunjukkan adopsi elemen-elemen budaya lokal ke dalam sistem kekuasaan yang baru dibentuk.
Konflik-konflik selanjutnya antara Raja Silou Bolak dan Raja Silou Dunia, serta keterlibatan kekuatan lain seperti Kerajaan Jayu dan Kerajaan Gunung-gunung, menggambarkan dinamika kekuasaan yang terus berubah dan upaya untuk mempertahankan otonomi di tengah pengaruh yang semakin kuat dari Aceh dan kemungkinan Ottoman.
Pengiriman utusan kepada Raja Rambe Nabolak dan Kerajaan Jayu untuk melawan Raja Silou Bolak menunjukkan adanya upaya untuk membangun aliansi lokal dalam menghadapi pengaruh luar.
Namun, pada akhirnya, kekuatan Raja Asih dan Raja Rum (atau pengaruh yang mereka representasikan) tampaknya lebih dominan.
Kisah tentang perebutan wilayah Nagor Laksa dan kekalahan Raja Silou Dunia semakin memperkuat narasi tentang pergeseran kekuasaan. Intervensi Raja Silou Bolak yang meminta bantuan dari Urangkaya Marompat ke Batu Bara juga menunjukkan upaya terakhir untuk melawan dominasi tersebut.
Meskipun narasi ini diturunkan secara lisan dan mungkin mengandung elemen-elemen mitos dan legenda, jejak-jejak pengaruh Aceh (Raja Asih) dan kemungkinan Ottoman (Raja Rum) dalam dinamika politik Sumatera Utara pada masa lalu menjadi tema yang menarik untuk diteliti lebih lanjut. Hubungan dengan Dili (Deli) sebagai entitas lokal yang menjadi pusat konflik juga memberikan gambaran tentang kompleksitas interaksi antara kekuatan lokal dan kekuatan luar di wilayah ini.
Penelitian arkeologis, analisis toponimi, dan perbandingan dengan catatan sejarah dari Aceh dan Ottoman dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai episode sejarah yang tersembunyi dalam kisah Partingkian Bandar Hanopan ini.
0 Komentar